Sebenernya sih labil juga mau posting ini. Beberapa hari lalu gue kan baru aja ripiu tentang resepsi pernikahan gue, which is nggak begitu sesuai ekspektasi gue. Eh, tapi nggak gitu amat juga, sih! Simple? Yes! Sweet? Eum... bisalah! Apalagi mantennya... sweet banget! Hahay! Okay, skip! Intimate? A big nope! Absolutely nope!
Mestinya sih ini bakal jadi postingan nggak penting. Secara ya kewongan gue udah lewat dan alhamdulillah berlangsung lancar kayak tol. Bukan maksud hati juga nggak bersyukur sama kewongan kemarin, tapi gue jadi nyaingin galaunya abege alay kalau nggak ngemengin apa yang ada di otak gue yang nggak seberapa ini tentang pernikahan keren impian gue yang sebenernya. Yes, the voices are telling me that I should write this down and post it right away! Halah!
Cewek mana yang nggak pengen pernikahannya dihelat semewah putri kerajaan? Hampir semua cewek. Gue salah satunya. Jujur aja. Tapi apa daya, kantong tak sampai. Hihi. Tapi nggak masalah juga, sih! Soalnya pada kenyataannya gue justru lebih ngiler kalau lihat pernikahan yang diadakan secara sederhana. Sederhana dengan hanya mengundang keluarga dan orang-orang tersayang yang bener-bener kita kenal dan kenal kita. Sederhana dengan dekorasi simpel nan manis yang bikin teduh mata yang lihat. Sederhana dengan segala kehangatan dan keintiman. Itulah sebenernya pernikahan yang gue impikan selama ini dan bener-bener bikin gue ngiler setengah busyet. Dan oiya, satu hal lagi yang nggak boleh kelupaan! Lokasinya kudu di outdoor, di sebuah taman atau kebun yang rindang dengan suara kicauan burung, dan mungkin ada kolam ikan lengkap dengan air mancurnya. Pokoknya mirip romantic garden party ala bule-bule gitu, deh! Aww...!! Tuh kan baru nulis gini aja gue udah ngences. *brb mau ambil tissue dulu*
Nyatanya? Budaya. Yah, gue kepentok sama budaya yang udah ada dari zaman mbah gue pleigrup. Budaya yang sebagian besar bertentangan dengan ide gue tentang segala kerennya pesta pernikahan impian ala gue. Ditambah lagi sikon yang nggak mendukung yang ada di sekitar gue. Mau nggak mau, gue pun harus membuang salah satu wishlist dari dalam kotak harta karun yang selama ini gue simpan di dalam mimpi gue. Gue harus kompromi sama kenyataan--walau agak berat.
Kalau mau dijabarin kenapa akhirnya pesta pernikahan impian gue yang keren itu pupus, mungkin sampe teteknya Jupe kempes juga nggak bakalan kelar. *lha... mesyum kumat... bawa-bawa tetek -__-" *. Tapi beberapa intinya sih begindang, pemirsa...
- Pertama, lokasinya nggak cucok, bo! Secara niat awal pengen resepsian di rumah aja biar hemat bin irit, kalau mau pake tema pernikahan ala gue itu--yang kudu outdoor kebon--bakalan nganar kalau diadain di rumah gue. Sebabnya rumah gue adalah tipe-perumahan-mepet-tembok-tanpa-halaman-cuma-ada-teras-itupun-sempit-dan-jalan-depannya-aspal-blas. Solusinya sih ya cari lokasi lain yang lebih pas, kayak di restoran bernuansa garden. Tapi pasti harga sewanya mahal, cing! Nah, biar lebih hemat, undang tamunya sedikit aja kali! Undang sedikit tamu? Langsung merosot ke poin kedua aja, deh!
- Undang sedikit tamu dan jadilah anak durhaka! Oh okay, itu premis yang berlebihan. Orang tua gue nggak sampe ngutuk gue kayak gitu. Syukurnya. Tapi waktu gue mengutarakan niat
muliague untuk mengundang beberapa orang aja, ekspresi nyokap jadi kayak pengen masukin gue ke perutnya lagi. Bokap juga langsung kayak pengen bantuin nyokap masukin gue ke perutnya nyokap. Dan akhirnya gue pun cuma bisa pasrah. Ya iyalah... daripada gue balik lagi ke perut? Nggak sih, cing! Intinya mah orang tua gue nggak mau jadi bahan gosip empuk orang-orang yang nggak diundangnya. See? Elo nggak undang mereka di hajatan elo, maka siap-siap jadi selebriti dadakan. Pastinya in a negative way. That's the fact. Shit. Rempongnya resepsi kalau udah dihadapkan pada budaya sosial macam gini, ya? *ngobrol sama plastik kresek* - Garden party itu budaya bule, kita mah nggak kayak gitu. Ya emang iya. Gue inget kakak gue pernah bilang kalau garden party kayak yang gue pengen itu nggak sesuai sama budaya dan adat kita. Di mana nggak sesuainya juga gue nggak ngerti. Emang sih pesta dengan konsep garden party begindang masih jarang banget diadain di tempat gue--yang masyarakatnya cenderung mainstream bahwa pernikahan adalah pesta formal--jadi mungkin bakal janggal dan ada rasa aneh bagi tamu. Tapi buat gue sih justru unik. Dan gue emang suka segala hal yang di luar kebiasaan umum. Ah, percuma. Tetep aja ide gue dianggep ngasal. -__-
Yah... akhirnya sih kita udah sama-sama paham kalau tiap orang punya dream wedding-nya masing-masing. Tapi kita juga kudunya nyadar diri untuk nggak menyesali sesuatu yang nggak semestinya disesali sampe berlarut-larut kalau apa yang dimau nggak kesampean. Meski nggak sepenuhnya sesuai pengennya gue, pernikahan gue tetep berkesan buat gue. Sampe kapan pun. Hari terpenting di hidup gue, nggak mungkin nggak berkesan, kan? Gue bersyukur karena gue masih bisa mengadakan resepsi dan mengundang banyak tamu. Banyak orang di luar sana yang boro-boro resepsi, bisa bayar administrasi KUA tanpa ngutang aja udah syukur. Atau orang-orang lainnya yang mungkin bisa mengadakan resepsi perfect dan mewah, tapi pernikahannya berakhir dengan perceraian. Jadi, apa lagi alesan gue untuk nggak mensyukuri rezeki dan semuanya yang melancarkan pernikahan gue? :-)
Gue juga mengingatkan diri gue sendiri bahwa pernikahan bukan cuma antara kita dan dia. Tapi juga ada orang tua dan keluarga di sana. Orang tua membebaskan gue untuk memilih sendiri laki-laki yang pantas gue jadikan suami. Ada restu orang tua yang nggak mungkin bisa gue gantikan hanya demi ego atas sebuah simple, sweet, and intimate garden party semata. Yah... meskipun pendapat gue tetep belum berubah kalau konsep pernikahan kayak gitu emang keren, tapi... orang tua gue dan restunya itu lebih keren, cing! (eh, itu nggak salah beneran gue yang nulis kan, ya?) *takjub sendiri*
*) Gambar: berbagai sumber